Berita Seputar Kasus Luna Maya twitter, belum juga reda pemberitaan tentang bintang yang cantik jelita Luna Maya itu.Si cantik Luna Maya tersandung masalah hukum. Ia dilaporkan sejumlah pekerja infotaintment dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke Polda Metro Jaya setelah mengeluarkan pernyataan yang dianggap "menghina" dalam akun twitter-nya. Para pekerja infotainment dan PWI menggunakan sejumlah pasal dalam KUHP serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kontan peristiwa ini mendapat reaksi yang luas di masyarakat. Bukan hanya di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Puluhan ribu facebooker bersatu mendukung Luna Maya. Komentar bernada miring terhadap tindakan PWI dan pekerja infotaintmenpun bermunculan, termasuk dari Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Tentu ini sebuah ironi. Pertama, dukungan terhadap Luna berarti juga perlawanan terhadap PWI dan pekerja infotainment. Patut dikhawatirkan jika kemudian masyarakat antipati terhadap para kuli berita. Mereka seharusnya menjadi sahabat masyarakat, bukan musuh masyarakat. Hal yang dilakukan PWI dan pekerja infotainment dengan mengenakan pasal UU ITE menjadi ironi kedua. Bagaimana mungkin terjadi, ketika dulu pers menentang pengenaan UU ITE pada kasus Prita Mulyasari karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat, tapi kini PWI sebagai induk wartawan, justru berbalik menggunakan UU ITE untuk menjerat Luna Maya.
Apa bedanya Prita dan Luna? Mereka sama-sama menulis "uneg-uneg" kekesalan mereka karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Prita menulis melalui e-mail, Luna menulis melalui twitter.
Sebagai orang "timur" yang konon punya budaya kesopanan yang tinggi, cara Luna Maya mengungkapkan kekesalannya memang patut disesalkan. Menyebut "infotainment derajatnya lebih hina dari pelacur", tentu sikap yang kasar dan berlebihan. Siapapun, tentu akan tersinggung mendengar kata-kata kasar seperti itu.
Tetapi kita juga perlu memahami mengapa Luna Maya mengucapkan kata-kata kasar itu. Ia merasa kebebasan dan privasinya terganggu, ketika para pekerja infotainment memburunya tanpa ampun, memberondong dengan puluhan pertanyaan hanya karena melihat Luna menggendong anak pacarnya. Apakah ini juga tidak berlebihan. Luna juga manusia!
Memburu berita tentu ada etikanya. Wartawan yang benar--jika para pekerja infotainment memang ingin disebut sebagai wartawan---tentu tahu etika jurnalistik. Wartawan yang benar adalah wartawan yang tahu sopan santun. Tidak ada pemaksaan kepada narasumber untuk berbicara, apalagi ini menyangkut masalah pribadi, bukan masalah yang menyangkut kepentingan publik.
Jangankan kepada seorang Luma Maya, kepada seorang koruptor atau seorang pembunuh pun, wartawan tetap harus bertanya dengan menggunakan etika. Etika jurnalistik adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya. Etika jurnalistik ini penting bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis, tapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis.
Karena itu masalah ini sebaiknya disikapi dengan bijak dan legowo oleh kedua belah pihak. Lebih baik berdamai daripada berurusan di pengadilan. Harga diri, itulah mungkin yang akan jadi persoalan.
Berkaca pada kasus hukum Prita Mulyasari yang sampai saat ini masih berlangsung, penggunaan UU ITE telah mengundang reaksi berlebihan sehingga mempermalukan hukum itu sendiri. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang ramai-ramai mengumpulkan koin untuk membayar denda yang diputuskan majelis hakim kepada Prita. Ini tentu sebuah sindiran sinis kepada proses hukum.
Persoalannya adalah UU ITE yang memang masih meninggalkan banyak kontroversi. Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3) adalah contoh-contoh pasal yang dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambat kreativitas dalam menggunakan internet.
Pasal-pasal itu dianggap memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat subjektif dan sangat tergantung pada interpretasi pengguna UU ITE. Padahal ancaman pidana untuk ketiga pasal itu tak main-main, yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Pers seharusnya paham bahwa keberadaan mereka terancam oleh kehadiran pasal-pasal UU ITE itu. Sehingga menjadi ironi jika ternyata pers sendiri yang menggunakan pasal itu untuk menghukum orang lain yang ingin menumpahkan pendapatnya.
Seputar Luna Maya Twitter
Reviewed by Imelda Pusparita
on
9:43 AM
Rating:
No comments: